A. Pengertian
Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini tahun 1995 adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi histories ketidak bersalahan pembentukan civil society dalam Masyarakat muslim modern.
Menurut Prof. Nafsir Alatas Masyarakat Madani berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu musyarakah dan madinah. musyarakah yang berarti pergaulan atau persekutuan hidup manusia, dalam bahasa latin masyarakat di sebut socius yang kemudian berubah bentuknya menjadi social sedangkan madinah yang berarti kota, atau “tamaddun” yang berarti peradaban. Hal ini berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang di bina Nabi Muhammad Saw setelah beliau berhijrah ke Madinah yang penduduknya dari berbagai jenis etnis dan agama walaupun mayoritas beragama Islam.
Berdasarkan asal-usul pengertian tersebut maka yang di maksud Masyarakat Madani (civil society) adalah masyarakat yang menjujung tinggi nilai–nilai peradaban, yaitu masyarakat yang meletakan prinsip-prinsip nilai dasar masyarakat yang harmonis dan seimbang.
B. Prinsip-Prinsip Masyarakat Madani
Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar masyarakat madani (islami) sebagaimana di ungkapkan dalam Al-Quran dan sunah adalah meliputi:
1. Persaudaraan
2. Persamaan
3. Toleransi
4. Amar ma’ruf-nahi munkar
5. Musyawarah
6. Keadilan
7. Keseimbangan
Allah Swt berfirman:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).
Dalam prinsip persaudaraan mengingatkan pada kejadian manusia yang berasal dari sumber yang sama, baik laki-laki maupun perempuan (Q 49:10). Di ayat tersebut dijelaskan Nabi Muhammad Saw seorang mukmin terhadap mukmin lainnyan laksana suatu bangunan yang unsur-unsurnya saling menguatkan. Hal ini berarati bahwa suatu masyarakat harus hidup bergotong royang, tolong menolong, dan saling membantu. Dalam prinsip persamaan menunjukan bahwa manusia itu sama, perbedaan kebangsaan, keturunan, jenis kelamin, kekayaan dan jabatan, tidak mengubah posisi seseorang di hadapan Allah Swt. Perbedaan seseorang dengan yang lainnya terletak pada iman dan taqwa (IMTAQ)nya kepada Allah Swt. Dalam prinsip kemerdekaan meliputi bidang agama, politik, dan ekonomi.
C. Pilar penyangga atau pendukung masyarakat Madani
Pilar penyangga atau pendukung Masyarakat Madani diantaranya:
1. Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM)
2. Pers (media masa, telepisi, radio,dll)
3. Supermasi Hukum
4. Peran Perguruan Tinggi
5. Partai Politik
D. Strategi-strategi yang menunjukan Masyarakat Madani di Indonesia.
Ada tiga strategi yang menunjukan masyarakat Madani di
Indonesia diantaranya:
1. Strategi lebih mementingkan intregrasi national dan
politik atau stuktural
2. Strategi mengutamakan reformasi sistem politik yang
sekarang di jalankan
3. Strategi membangun masyarakat madani atau kultural
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).
Konsep “Masyarakat Madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai Masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk Masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi histories ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam Masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society
“Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan Masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep sivil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara histories, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, john Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan Masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi Gereja (larry Diamond, 2003: 278). Cornelis Lay melihat substansi civil society mengacu kepada pluralitas bentuk dari kelompok-kelompok independen (asosiasi lembaga kolektipitas, perwakilan kepentingan) dan sekaligus sebagai raut-raut dari pendapat umum dan Komunikasi yang indipenden. Ia adalah agen, sekaligus hasil dari tranformasi social (kornelis lay, 2004:61). Sementara menurut havnes, tekanan dari “masarakat sipil” sering memaksa pemerintah untuk mengumumkan program-program Demokrasi, menyatakan agenda reformasi politik, merencanakan dan menylenggarakan pemilihan umum multipartai, yang demi kejujuran diawasi oleh tim pengamat internasional (jeff Haynes, 2000: 28). Menurut AS Hikam, civil society adalah satu Wilayah yang menjamin berlangsungnya prilaku, tindakan, dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kehidupan matrial, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.
Ciri-ciri utama civil society, munurut AS Hikam ada tiga, yaitu: (1) Adanya kemandirian yang cukup tinggi dari individu- individu dan kelompok-kelompok dalam masarakat, utamanya ketika berhadapan dengan negara; (2) Adanya ruangan publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui wancana dan Praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan (3) adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak intervensionis. Dalam arti politik, Civil Society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik-praktik politik pemerintah dan lembaga-lembaga politik lainnya. Dalam arti ekonomi, sivil society berusaha melindungi Masyarakat dan individu terhadap ketidakpastian global dan cengkeraman konglomerasi dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk Koperasi misalnya. Oleh karena itu, prinsip sivil society bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diberlakukannya prinsip-prinsip Demokrasi dan harus selalu menghindarkan diri dari kooptasi dari pihak penguasa (Haryatmoko 2003: 212).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep diluar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan Masyarakat Madani yang dijadikan pembenaran atas pembentukan sivil society di Masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan diantara keduanya. Menurut pengamatan A.Syafii Maarif, Masyarakat sipil yang berkembang dalam Masyarakat Barat secara teoritis bercorak egilitarian, toleran, dan terbuka, nilai-nilai yang juga dimiliki Masyarakat madinah hasil bentukan Rosulullah. Masyarakat sipil lahir dan berkembang dalam asuahan liberallisme sehingga hasil Masyarakat yang dihasilkannyapun lebih menekankan peranan dan kebebasan individu, persoalan keadilan social dan ekonomi masih tanda Tanya. Sedangkan dalam Masyarakat madani, keadilan adalah satu pilar utamanya. Perbedaan lain antara civil society dengan Masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan Masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga sivil society mempunya moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan Masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.
Dari alasan ini Maarif mendefinisikan Masyarakat madani sebagai sebuah Masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik moral transcendental yang bersumber dari Wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84). Masyarakat Madinah, yang oleh Cak Nur dijadikan tipologi Masyarakat madani, merupakan Masyarakat yang demokratis. Dalam arti bahwa hubungan antar kelompok Masyarakat, sebagaimana yang terdapat dalam poin-poin Piagam Madinah, mencerminkan egalitarianisme (setiap kelompok mempunyai hak dan kedudukan yang sama), penghormatan terhadap kelompok lain, kebijakan diambil dengan melibatkan kelompok Masyarakat (seperti penetapan strategi perang), dan pelaku ketidak adilan, dari kelompok manapun, diganjar dengan hukuman yang berlaku.
Robert N.Bellah, mantan Guru Besar Sosiologi Universitas Califonia, Berkeley Amerika Serikat, menyatakan bahwa komunitas muslim awal merupakan Masyarakat yang demokratis untuk masanya. Indikasinya, menurut Bellah, tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi Masyarakat dalam membuat kebijakan publik serta keterbukaan posisi pemimpin yang disimbolkan dengan pengangkatan pemimpin tidak berdasarkan keturunan (beredities), tapi kemampuan (Robert N Bellah, 2000: 211).Perunjukan Masyarakat Madinah sebagai kerangka acuan dalam membangun tatanan Masyarakat Muslim modern merupakan keharusan. Dengan alasan, Masyarakat Madinah adalah umat yang terbaik dalam pandangan Allah. Firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah,” (QS Ali Imran [3]: 110). Menurut Quraish Shihab, Masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh Masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya shihab menjelaskan, kaum muslim awal menjadi “khaeru ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185). Perujukan terhadap Masyarakat Madinah sebagai tipikal Masyarakat ideal bukan pada peniruan stuktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakata ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk ilahi, maupun persatuan dan kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui llahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [6]: 125.
Dalam rangka membangun “masayrakat madani modert”, meneladani Nabi bukan hanya penapilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun sesama umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Kita juga harus meneladani sikap kaum muslim awal yang tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan mereka bersikap seimbang (tawassulth) dalam mengejar kebahagian dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada Masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam menunggu Waktu saja.
Peranan Ibu Membangun Moral Bangsa JOHN Lock mengungkapkan teori “Tabularasa” yang menyatakan bahwa bayi ibarat kertas Putih. Teori ini senada dengan Sabda Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitnah), tergantung keinginan Bapaknya menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani, dan Majunis. Dari sini kita Memahami bahwa pengalaman hidup seseorang dalam keluarga sangat menentukan masa depan seseorang. Pendek kata, baik buruknya seseorang ditentukan pendidikan keluarga. Karena itu, pendidikan anak didalam rumah tangga sangat menentukan arah anak masa depan. Pendidikan dalam rumah tangga hendaknya diarahkan pada penanaman keimanan dan akidah yang benar. QS Luqman [31]:13 menjelaskan hal ini. Ayat ini berbunyi, “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di Waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ’Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar.” Penanaman keimanan dan akidah yang lurus adalah tanggung jawab suami. Tapi karena seorang suami sibuk mencari nafkah untuk menghidupi kebutuhan sandang pangan istri dan anaknya, maka tugas ini seyogyanya dilaksanakan oleh istri. Pendidikan anak dalam rumah tangga akan lebih efektif jika dilakukan ibu, dengan pertimbangan bahwa ibu mempunyai sikap lebih lembut dan perasaan yang halus serta anak lebih dekat kepada ibu ketimbang kepada Bapak. Makanya tidak salah jika Ahmad Syauqi, seorang pejuang Arab, mengatakan melalui syair yang ditulisnya, “ibu adalah sekolah pertama, apabila dia mempersiapkannya, dia menyiapkan Masyarakat yang baik keturunannya”. Syair ini mengungkapkan bahwa itu memiliki kedudukan yang sangat mulia dan berpengaruh sangat besar. Ibu adalah pendidik paling utama bagi setiap anak. Selain itu, ibu adalah sosok yang paling dicintai oleh semua orang dan menjadi anutan mereka, serta pribadi yang mengantarkan anak melihat dunia untuk pertamakalinya. Mengatasi kebobrokan bangsa hendaknya dimulai dari komunitas yang kecil, yaitu keluarga. Penciptaan generasi “rabani” tidak mungkin berhasil tanpa peranan seorang ibu. Sedini mungkin seorang ibu harus menanamkan keimanan, akidah, dan moral yang besar sebagai tameng agar anak-anak di Masyarakat tidak terjerumus dalam tindak asusila dan kriminal sekaligus filter untuk membedakan antara perbuatan baik dan buruk. Karena itu, bisa dikatakan bahwa ibu adalah benteng moral bangsa. Semoga para ibu melakukan fungsinya dengan baik dan benar agar bangsa ini terhindar dari kehancuran moral.
Referensi
http://raulina.wordpress.com/2010/01/09/makalah-masyarakat-madani/
thk
BalasHapus